Glitter Words

Mental Juara Anak


Definisi
Sering kali kita melihat anak yang tidak mempunyai semangat untuk ingin mendapatkan sesuatu yang lebih baik atau mempunyai standar yang rendah bagi dirinya sendiri. Hal tersebut merupakan menjadi kendala kesukseksan diri pada anak terutama di masa dewasa atau dapat dikatakan tidak mempunyai mental juara. Mempunyai mental juara tanpa perlu menjadi ambisius bukanlah sesuatu yang instan. Ada proses pembiasaan yang perlu dilakukan sejak dari masa kanak-kanak.
Beberapa pengertian bermental juara antara lain:
§ Bermental juara tidak hanya merujuk pada anak yang mampu memenangkan kompetisi atau lomba tertentu. Anak bisa dikatakan bermental juara pada saat dia berhasil melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Seringkali makna juara yang seperti ini kurang disadari oleh para orangtua maupun anak.
Cara yang dapat ditempuh untuk memiliki mental juara ini adalah dengan mengajari anak untuk menghargai sekecil apapun prestasi yang anak miliki. Orangtua harus membantu anak untuk berhasil dalam setiap langkah atau apapun yang anak lakukan.
§ Bermental juara juga dapat berarti anak yang tangguh menghadapi segala tantangan. Anak perlu ditempa untuk siap menghadapi tantangan dan menjadi anak yang mandiri. Cara membentuk mental juara pada anak adalah dengan tidak selalu membantu anak, tidak selalu menganggap anak masih kecil. Orangtua perlu menyadari kapan anak perlu dibantu dan kapan anak bisa dilepas untuk memecahkan masalahnya sendiri. Selain itu orangtua juga perlu menanamkan motivasi dari dalam diri anak sehingga anak tidak selalu harus disuruh dan ditentukan oleh lingkungannya dalam melakukan sesuatu.
§ Bermental juara dapat berarti juga anak yang mampu menghadapi kekalahan. Dalam hidup, seseorang tidak selalu menghadapi keberhasilan tetapi juga dalam saat-saat tertentu menghadapi kegagalan atau ketidakmulusan. Di sini anak perlu belajar bahwa diperlukan usaha untuk mengatasi ketidakberhasilan.
Manfaat Mental Juara
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pembentukan mental juara pada anak antara lain:
§ Anak menjadi mandiri, tidak tergantung pada orang lain.
§ Anak menjadi percaya diri dalam melakukan segala sesuatu.
§ Anak tidak cepat putus asa dan mau mencoba lagi apabila mengalami kegagalan.
§ Anak menjadi pribadi yang terbiasa memecahkan masalah.
Aspirasi vs Ambisi
Konsep membentuk mental juara bukanlah dengan menuntut anak untuk selalu menjadi juara. Orangtua harus hati-hati agar memotivasi anak tidak dilakukan dengan cara memaksa. Seringkali orangtua merasa bangga saat anak memenangkan sesuatu, sehingga yang dikejar adalah hasil, bukan proses. Hal tersebut yang bisa menciptakan anak ambisius, di mana anak hanya akan berorientasi pada pencapaian hasil. Apabila anak memahami pentingnya proses maka akan tercipta aspirasi di dalam diri anak. Anak yang memiliki aspirasi akan terinspirasi dan termotivasi untuk senantiasa melakukan yang lebih baik lagi.
Pada anak yang ambisius, anak akan sangat keras berusaha mencapai sesuatu akan tetapi di lain pihak anak akan cepat puas dan bangga pada yang diperolehnya dan berhenti hanya sampai di situ. Berbeda dengan aspirasi yang bersifat jangka panjang dibanding ambisi. Hal terpenting bukanlah menjadi juaranya, tetapi bagaimana usaha anak untuk mencapainya. Anak tidak harus selalu menjadi juara, tetapi menjadi lebih baik dari yang dia lakukan selama ini. Sehingga anak lebih percaya diri dan siap menghadapi tantangan.
Latih Mental Juara Sejak Dini
Mental juara dapat dibentuk dan dilatih orangtua sejak kecil, terutama begitu anak mulai berinteraksi dengan dunia sekitarnya. Menurut teori Erickson, tahun-tahun pertama merupakan tahun pembentukan dasar kepribadian anak kelak, dan dalam hal ini lingkungan sosial amat berpengaruh. Berikut ini tahap perkembangan anak dalam melatih mental juara:
§ Awal kehidupan anak ditandai dengan adanya trust (percaya) dan mistrust (ketidakpercayaan).
Trust atau rasa percaya menunjukkan adanya perasaan kenyamanan fisik dan sedikit rasa takut. Trust di masa kanak-kanak membentuk harapan dalam kehidupan bahwa dunia ini merupakan tempat yang nyaman. Jika anak tidak merasa nyaman dengan lingkungannya maka yang berkembang adalah rasa mistrust.
Dalam membentuk mental juara dan memotivasi anak harus mementingkan kenyamanan dan kebahagiaan anak, dengan cara-cara yang fun, jangan sampai anak merasa terpaksa dan tidak enjoy terhadap apa yang dilakukannya.
§ Pada usia 1-3 tahun ditandai dengan autonomy (otonomi atau kebebasan pribadi), shame (rasa malu) dan doubt (ragu-ragu).
Pada masa ini anak mulai menemukan dan mengembangkan tingkah lakunya. Jika anak diberi kesempatan untuk mencoba maka akan muncul otonomi. Tetapi jika anak banyak diarahkan dan dilarang maka anak akan menjadi anak yang pemalu atau ragu-ragu. Pada usia ini cukup ideal untuk melepas anak memecahkan masalahnya sendiri, yang merupakan salah satu cara membentuk mental juara.
§ Pada masa anak-anak awal yaitu usia 3-5 tahun ditandai dengan initiative (inisiatif) dan guilt (rasa bersalah).
Masa ini muncul di usia prasekolah, di mana kehidupan sosial anak sudah lebih berkembang. Saat anak mulai aktif, banyak perilaku perlu dikembangkan agar anak bsa mengatasi atau beradaptasi dengan lingkungannya.
Anak belajar untuk bertanggungjawab atas berbagai hal, misalnya menjaga barang-barang milik anak sendiri. Berkembangnya rasa tanggung jawab akan menanamkan rasa inisiatif pada anak. Sebaliknya akan muncul anak yang memiliki rasa bersalah dan cemas karena tidak memiliki rasa tanggung jawab dan tidak diberi kesempatan untuk mandiri. Pengalaman dari lingkungan akan menjadikan anak memiliki rasa percaya pada dunianya, mandiri, penuh inisiatif, dan siap menghadapi apapun dalam dunianya. Hal-hal inilah yang merupakan esensi mental juara.
Hal yang Perlu Diwaspadai
Dalam membentuk mental juara serta memotivasi anak ada beberapa hal yang perlu diwaspadai yaitu:
§ Anak yang selalu atau sangat sering menjadi juara kerap menjadi lebih down ketika mengalami kegagalan. Terlebih lagi jika orang-orang di sekitarnya bersifat menyalahkan, anak bisa merasa tidak berharga dan tidak dicintai lagi karena sudah gagal. Hal tersebut yang biasanya terjadi apabila orangtua dan lingkungan anak lebih mengutamakan hasil daripada proses, akibatnya penghargaan diri anak menjadi relatif rendah.
§ Munculnya sifat angkuh atau sombong pada anak yang sering menjadi juara. Sekecil apapun pencapaian anak perlu dihargai. Di sisi lain apa yang menjadi kelemahan atau kekurangan anak perlu dievalusi dan dicari solusinya. Pujian maupun evaluasi hendaknya diberikan secara proporsional. Dengan demikian anak tidak menjadi sombong tetapi masih mau berusaha untuk lebih baik di kesempatan yang akan datang.
§ Adanya sifat individualis anak perlu dihindari ketika menanamkan mental juara. Anak bermental juara justru mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Anak yang menghargai dirinya sendiri berdasar proses, biasanya juga akan menghargai orang lain. Anak perlu diajarkan memahami siapa dirinya, mengetahui apa kelebihan dan kelemahan dirinya sehingga anak akan tahu perannya, apa yang dia miliki, dan apa yang dia bisa lakukan. Bila hal tersebut sudah tercapai, anak akan bisa mandiri tanpa melupakan hakikatnya sebagai makhluk sosial.
§ Membanding-bandingkan anak dengan temannya sama sekali bukan cara ideal untuk memotivasi anak. Yang bisa dibandingkan adalah pencapaian yang dilakukan anak, misalnya nilai anak yang lebih bagus saat dia rajin belajar dibandingkan saat dia malas-malasan. Itupun harus disampaikan dengan alasan-alasan yang logis dan bukti-bukti, secara tegas namun tidak terkesan menyalahkan anak.
Mental juara pada anak dapat dibentuk atau dilatih oleh siapapun, termasuk dari orangtua yang pernah gagal atau tidak terlalu sukses. Apabila orangtua bisa memiliki kepribadian yang positif dan memiliki motivasi serta keinginan untuk mengembangkan anaknya dalam lingkungan yang sehat dan tidak ada paksaan, diharapkan anak bisa tangguh menghadapi tantangan dan mempunyai mental juara karena setiap anak mampu menjadi juara.
 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Membuat Batagor

batagor
Batagor merupakan menu jajanan yang banyak dijumpai di daerah jawa barat, biasanya pedagang batagor menjajakan batagor dengan cara berkeliling atau juga mangkal di daerah-daerah tertentu, seperti di perumahan, di sekolah, atau bahkan di kantor-kantor. Tapi, jika ada ingin mencoba batagor dengan buatan anda sendiri, tidak ada salahnya anda mencoba memasak dan meracik sendiri. Dibawah ini kami sajikan resep batagor. Selamat mencoba.
Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat Baso tahu dan siomay goreng :
5 buah tahu putih yang besar, dipotong diagonal membentuk segitiga
10 lembar kulit pangsit goreng
200 gram udang kupas, dicincang
100 gram daging ayam, dicincang
1 butir telur
7 sendok makan tepung kanji/tapioka
3 sendok makan minyak wijen
1 batang daun bawang, dirajang halus
Garam secukupnya
Sambal :
200 gram kacang tanah digoreng dan dihaluskan /selai kacang
4 buah cabai merah dikeluarkan biji,dipotong-potong dan digoreng,
dihaluskan
1 sendok teh gula pasir
1 sendok teh cuka
Garam secukupnya
Air secukupnya
Cara membuat :
Pertama: Keruk isi tahu untuk memberi tempat bagi adonan baso.
Kedua : Kocok telur, masukkan udang dan ayam yang telah dicincang, tepung kanji, minyak wijen, garam dan rajangan daun bawang.
Ketiga : Aduk rata hingga menjadi adonan yang dapat dibentuk.
Keempat : Masukkan adonan ke dalam tahu yang telah dikeruk isinya. Untuk pangsit, ambil sedikit adonan, letakkan ditengah-tengah kulit pangsit, lalu ke empat sudut kulit
pangsit disatukan dan ditekuk keluar.
Kelima : Panaskan minyak dalam panci atau penggorengan. Goreng tahu dan pangsit
dalam minyak panas hingga matang dan berwarna kecoklatan. Waktu
menggoreng, tahu dan pangsit sebaiknya terendam seluruhnya dalam minyak
(deep fried).
Keenam : Saus kacang : campur kacang tanah goreng yang telah dihaluskan atau
pindakaas/selai kacang dengan cabai merah goreng yang telah dihaluskan, gula
pasir, cuka, garam dan air.
Ketujuh : Panaskan sebentar hingga mendidih dan mengental.
Delapan : Sajikan batagor dan siomay panas-panas dengan saus kacang, kecap manis dan jeruk purut.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Fauzil Adhim: Tanpa TV Anak Berfikir Lebih Luas

Fauzil Adhim: Tanpa TV Anak Berfikir Lebih Luas

Hidayatullah.com--Pengaruh televisi dalam keluarga Indonesia tampaknya sudah demikian kuat menyatu dengan keseharian masyarakat. Data Bank Dunia tahun 2004 menunjukkan, ada 65 persen lebih rumah tangga pemilik televisi di Indonesia. Bentuk media audio visual yang menarik dan lengkap dari si ”tabung ajaib” menjadikan ia lebih digandrungi dibandingkan dengan produk budaya lain, seperti buku. Hiburan yang disajikan mampu menarik mayoritas penduduk menekuni tayangan televisi dalam kegiatannya sehari-hari. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2006, lebih tiga perempat (86 persen) dari seluruh penduduk usia 10 tahun ke atas di Indonesia memiliki aktivitas rutin mengikuti acara televisi dalam seminggu. Tapi jumlah itu tak termasuk Mohammad Fauzil Adhim (38), pria yang namanya melejit lewat bukunya “Kupinang Engkau dengan Hamdalah” (1997) justru tak memiliki TV. Mungkin akan terasa janggal bagi semua orang. Bagaimana cara dia menjelaskan pada anak tanpa hiburan TV di rumah? Berikut petikan wawancara dengan laki-laki kelahiran Mojokerto, Jawa Timur pada 29 Desember l972 ini.

Apa alasan Anda menolak TV di rumah?

Saya tidak menolak, tapi karena saya melihat tidak ada alasan yang membuat TV layak untuk dipelihara di rumah, sehingga saya tidak memelihara TV.

Sejak kapan itu Anda lakukan?

Memang sejak awal saya sudah tidak memelihara TV. Tapi suatu saat, karena penasaran ingin tahu seperti apa sih TV sekarang, saya dan istri pernah juga mencoba menyewa TV. Nah, pada saat TV itu distel, justru anak pertama saya, Fathimah yang memprotes, dan minta TV itu dimatikan. Sampai dia bilang,”Ibu dimatiin, kok Ibu suka sih nonton film yang jelek-jelek. Itu kan nggak bagus.” Makanya TV akhirnya dimatikan dan kita tidak pernah nyewa lagi.

Mudharatnya apa?

Tidak ada stasiun TV yang mengudarakan acara yang benar-benar mengaktifkan otak anak, dan menggugah anak terlibat dalam proses berfikir. TV justru menyedot perhatian anak yang dalam jangka panjang bisa mempasifkan otaknya. Belum lagi soal content (isi). Film-film yang ditayangkan maupun iklan pariwaranya sebagian besar tidak layak untuk dikonsumsi anak. Katakanlah misalnya ada acara yang cukup bagus, itu saja mengenaskan.

Berarti Anda tidak butuh TV?

Saya merasakan tidak ada kebutuhan dari TV. Karena itu mengapa saya harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Menurut saya hiburan yang paling mahal ya TV. Untuk mendapatkan sampah kita harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah, padahal dengan dana segitu, kita bisa membelikan anak-anak kita ensiklopedi, atau bisa kita belikan komputer atau buku, atau hal-hal lain yang jelas manfaatnya.

Di TV kan juga ada tayangan pendidikan yang bermanfaat untuk anak?

Pertama, Ayat Al-Quran bisa ditempelkan di tissue, di kaleng bir. Tapi kalau ada tulisan bismillah di kaleng bir bukan berarti birnya halal. Khamr pun dikatakan ada manfaatnya, tapi kenapa diharamkan? Berarti ada manfaatnya tidak cukup untuk menjadikan sesuatu itu halal. Kedua, tayangan-tayangan yang diperuntukkan anak-anak sebagian besar tidak dikemas sesuai dengan perkembangan anak, dan tidak dikemas untuk merangsang kemampuan berpikir aktif maupun konstruktif, sehingga anak hanya menjadi pihak yang mengalami terpaan exposure dari berbagai tayangan TV.

Bagaimana dengan kebutuhan informasi yang bisa didapatkan di TV?
Sumber informasi, sumber untuk mendapatkan kebutuhan psikis berupa perhatian, kebutuhan untuk mendengarkan itu ada pada orang tua, dan orang-orang penting lainnya dalam keluarga. Kalau dalam ilmu psikologi dikenal dengan significant person atau significant others. Sejauh ini, sepanjang yang saya tahu, kualitas attachment yang baik meningkatkan kreatifitas anak, meningkatkan kecerdasan anak dan meningkatkan percaya diri anak. Anak cenderung akan memiliki konsep diri yang bagus dan cenderung lebih bisa mengelola dirinya.

Apa dampak lebih jauh dari menonton TV?

Sejauh yang saya pahami sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli-ahli psikiatri Amerika Serikat, tayangan TV yang sering disaksikan anak adalah tayangan-tayangan yang tidak dikemas untuk anak, sehingga banyak menonton TV menyebabkan anak otaknya pasif dan cenderung tidak suka berpikir. Dan jika anak tidak suka berpikir, maka anak cenderung tidak mampu mengkomunikasikan perasaannya dengan baik. Dan itu berarti menambah kesulitan kita dalam mendidik anak.

Bagaimana respon anak dengan tidak adanya TV di rumah?
 Anak-anak memang saya didik untuk suka membaca. Karena itu mereka cenderung bisa mengungkapkan gagasannya dengan lebih baik. Dan anak-anak yang suka membaca itu cenderung memiliki informasi yang lebih kaya. Bahkan terkadang kalau sudah seperti itu, anak-anak malah suka usul pada saya. Misalnya Fathim, ketika melihat gambar mobil yang ada TV-nya, justru mengatakan pada saya, ”Bapak kalau mau beli mobil tak usah pakai TV, karena di TV banyak yang jelek.”

Bagaimana Anda menjelaskan kepada Anak?
Jadi yang penting prosesnya. Kalau anak langsung dilarang, anak akan penasaran. Tapi cukup dengan dialog. Sebagaimana sekarang Fathimah ndak mau makan di Kentucky Fried Chicken, Mc Donald, ndak mau minum air mineral yang mereknya Aqua dan Ades. Semua itu bisa ditanamkan karena ada dialog, kalau semua itu produk boikot. Begitu juga dengan menyikapi TV, harus ada dialog.

Pernah ditanyai anak tentang TV?
Saya pernah ditanya anak, ”Bapak kok nggak punya TV. Kata temanku kalau ndak punya TV berarti miskin.” Ini kan berarti social pressure, tekanan-tekanan masyarakat. Nah di sinilah saya perlu menjelaskan setepat-tepatnya. Ya karena kebetulan Allah memberikan rezeki pada saya maka saya gantikan dengan benda-benda yang ada manfaatnya, dan harganya melebihi TV, seperti ensiklopedi. Sekarang anak saya punya 3 ensiklopedi. Itu memberikan pemahaman pada anak bahwa ini lebih berharga dari TV, dan saya memperkuat dengan dialog bahwa ini lebih baik dari TV.

Apa pengganti TV, selain ensiklopedi?

Kalau anak sudah senang buku apakah kemudian dia masih ingin mencari ganti yang lain. Jadi tidak sekedar ensiklopedi, tapi komputer, buku atau bacaan-bacaan lainnya. Atau juga ketika anak-anak butuh hiburan, saya belikan tenda yang mereka bisa bermain di sana.

Anak-anak tidak bosan baca ensiklopedi dan buku terus-terusan?

Kalau otak anak itu aktif, maka dia akan cenderung aktif mencari. Kalau dia sudah bosan membaca, maka dia akan mencari kegiatan yang inovatif lainnya. ketika anak-anak suka membaca, maka mereka cenderung komunikatif, lebih mampu mengungkapkan perasaannya. Misalnya, suatu saat anak saya minta dibelikan buku. Untuk apa? Dia mau menulis buku harian. Selain itu, ketika dia tidak terlalu fokus pada TV, saya lihat mereka cenderung menyukai benda-benda intelektual, seperti memotret sendiri. Ia mengembangkan berbagai macam keterampilan karena pikirannya berkembang. Pikirannya tidak tersedot oleh bayangan yang sebenarnya tidak diperlukan itu.

Nilai positif rumah tanpa TV?

Tanpa TV anak akan memiliki kesempatan berfikir yang lebih luas, anak akan mengembangkan inisiatif-inisiatif yang lebih aktif dan progresif. Sementara dengan adanya TV anak siap untuk dicekoki. Anak belum sempat berpikir sudah dijejali dalam tempo yang sangat tinggi. Ketika anda melihat TV, maka dalam 1 menit akan terjadi perubahan-perubahan gambar yang luar biasa cepatnya. Padahal masa kanak-kanak adalah masa yang paling pesat perkembangan otaknya. Semestinya pada masa itulah rangsang-rangsang otak itu dimaksimalkan. Anak betul-betul diberi pengayaan rangsang otak yang luar biasa.

Mengapa demikian?

Otak itu berkembang dari usia 0 – 6 tahun, dan porsinya mencapai 80 %. Sementara sisanya yang 20 % terjadi pada usia-usia berikutnya. Dari usia itu, yang lebih penting lagi adalah 18 bulan pertama usia anak. 20% perkembangan otak terjadi pada usia itu. Maka alangkah sayangnya jika pada usia-usia yang sangat strategis ini justru anak-anak tidak memperoleh rangsangan yang maksimal. Dan sebaliknya justru hanya memperoleh exposure dari TV. Padahal banyak kegiatan lain yang bisa merangsang daya nalar anak, contohnya MEMBACA.

www.bukucahayaislamshop.blogspot.com
 
Dampak anak yang suka menonton TV?
 
Saya kira anak yang biasa menonton TV, maka di sekolah pun TV memiliki daya tarik yg lebih besar baginya. Karena itu sekolah tidak menjadi surga baginya. Karena di TV anak tidak akan banyak dapat informasi. Ada kasus yang pernah saya dapatkan, ketika ada orang tua yang membawa anaknya, saya kira dia ini idiot sehingga dia tidak naik kelas dan nilainya nol semua, tapi ternyata anak ini tidak idiot. Ia lebih senang nonton TV dan main game, sehingga ketika di kelas, pikirannya tidak di kelas, tapi di rumah, yaitu di TV. [jidi/sahid/www.hidayatullah.com]
NOTE : For Educated, Islamic & Quality Book, please visit : www.bukucahayaislamshop.blogspot.com .
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS